Quantcast
Channel: sekadarblog » Sepakbola Umum
Viewing all articles
Browse latest Browse all 9

Menyerang sekaligus bertahan

$
0
0

Ketika gelandang sekaligus playmaker sekelas Juan Mata menjadi cadangan di Chelsea, khalayak dibuat bingung. Bagaimana mungkin pemain terbaik Chelsea pada musim 2012-13 justru berbalik menjadi benchwarmer di musim berikutnya.

Tentu saja penyebabnya adalah perubahan pelatih dari Rafa Benitez ke Jose Mourinho di awal musim 2013-14. Pergantian pelatih selalu berimbas negatif dan positif. Pemain inti era sebelumnya bisa berubah menjadi pemain cadangan, begitu pula sebaliknya.

Mourinho kemudian angkat bicara. Dia mengakui kehebatan Mata, tapi bulat mendahulukan Oscar karena satu perbedaan — kemampuan bertahan. “Oscar dan Mata punya kualitas sama dalam menyerang. Tapi Oscar seketika bisa mundur ke belakang dengan cepat setelah serangan gagal. Ini tidak saya temukan pada Mata,” kata Mou ketika itu.

Dalam permainan dewasa ini, seorang pemain kebetulan dituntut serba guna (versatile). Tentu saja bukan pemain di semua posisi. Mou kebetulan pelatih pragmatis yang lebih dulu fokus pada pertahanan sebelum menyerang. Sebaliknya pelatih attacking minded macam Zdenek Zeman atau Marcelo Bielsa.

Namun perbedaan Mata terhadap wacana bertahan boleh jadi tipikal pemain depan dan tengah Spanyol. Damiano Tommasi, eks gelandang AS Roma, pernah mengatakan betapa sengsaranya pemain bertahan di La Liga. “Saya kasihan lihat para pemain bertahan di Spanyol. Mereka tak pernah dibantu para gelandang. Ini berbeda dengan kami di Italia. Gelandang selalu ikut turun membantu pertahanan,” kata Tommasi ketika belum lama pindah ke Levante pada 2006.

Transisi dari menyerang ke bertahan memang tak mudah, begitu juga sebaliknya. Apalagi bila itu bukan posisi asli seseorang pemain. Namun tren permainan pressing seperti sekarang seakan mewajibkan pemain memegang peran defensif. Itu sebabnya ada defensive forward.

Dalam konteks Chelsea di era kedua Mou, pressing menjadi lebih kompleks. Kesimpulan itu terlihat saat mengalahkan Arsenal 2-0 di Stamford Bridge kemarin (5/10). Dalam partai relatif seimbang secara kualitas seperti derby London tersebut, hal itu baru terlihat gamblang. Mayoritas wadyabala Chelsea seakan mahir bertahan, bahkan pemain attacking sekali pun. Ketika kehilangan bola, para pemain menyerang mengubah pendekatan menjadi defensif.

Tapi defensifnya bukan lagi parkir bus. Mou justru menerapkan defensif kolektif secara terbatas, per area, dan sebisa mungkin sebelum lawan masuk sepertiga lapangan akhir. Peran pertahanan dini tidak lagi melulu dijalani duo DM — dalam konteks The Blues, Nemanja Matic dan Cesc Fabregas. Setiap pemain Arsenal menguasai bola maka saat itu pula ada 2-3 pemain Chelsea menjepitnya. Satu bertugas menutup ruang gerak, satu berperan mengganggu, dan satu lagi bergerak mencuri bola. Satu kesempatan, dua hasil. Menggagalkan serangan lawan dan berbalik menyerang. Sistematis.

Secara kasat mata, Arsenal kalah dalam pertarungan individu. Ya jelas. Dalam banyak kesempatan bukan lagi one on one tapi two-three on one. Statistik Stats Zone FourFourTwo menunjukkan efektivitas tersebut. Chelsea 13 dari 20 take-ons dan Arsenal 28 dari 51 take-ons. Meski demikian catatan ball recoveries Arsenal agak lebih baik (56 vs 63). Tapi kecilnya jumlah take-ons Chelsea seakan bukti kesekian filosofi taktik “tidak aktif merebut bola” ala Mourinho.

Menurut Gary Neville, pandit BBC, pressing ala Chelsea itu bukan hal baru. Dia pernah melakukannya bersama Manchester United pada akhir 90an – awal 2000an. Ini seakan penegasan kesekian kali bahwa permainan sepak bola nyaris tak pernah menghasilkan hal baru. Yang ada hanya daur ulang dengan sedikit modifikasi dan repackage. Namun setidaknya, zaman dulu hanya ada sedikit pemain menyerang yang mampu memerankan permainan bertahan sama baiknya.

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 9

Latest Images

Trending Articles